Kab.Tangerang ; Sebuah papan proyek terpampang di samping rumah warga kampung Bojong RT.04/04 Desa Blukbuk, Kecamatan Kronjo Kabupaten Tangerang, Banten, Di sana tertulis proyek Sarana Air Bersih (SAB) senilai Rp149,1 juta, dibiayai dari APBD Kabupaten Tangerang 2025. Pelaksana proyek tercatat CV. Putra Bungsu Mandiri, dengan sistem pengadaan langsung (PL).

Tapi alih-alih membawa harapan baru, proyek ini justru menimbulkan tanda tanya. Di lapangan, rangkaian besi yang seharusnya kokoh terlihat tidak seragam. Diduga Ada yang berdiameter 5 cm, ada 8 cm, sebagian 10 cm, bahkan hingga 12 cm. Warga menyebutnya dengan istilah besi “banci”, karena kualitasnya dipertanyakan dan diduga tidak sesuai dengan spesifikasi teknis yang lazim digunakan dalam konstruksi.
“Proyek ini dibangun di lahan pribadi, bukan aset desa. Tidak pernah ada hibah lahan ini untuk fasilitas umum,” kata Safit, Ketua RT 04 Kampung Bojong, kepada Volunteer News pada 18 September 2025. Ia menambahkan, pelaksana lapangan proyek diketahui bernama Jumi, orang kepercayaan kontraktor.
Ketika Volunteer news.co.id menelusuri lebih jauh, masalah tidak berhenti di persoalan material. Fakta bahwa proyek air bersih didirikan di atas tanah milik pribadi membuka ruang pertanyaan lebih besar: bagaimana mekanisme perencanaan dan verifikasi lokasi dilakukan oleh dinas terkait? Apakah proses administrasi hanya formalitas untuk mengucurkan anggaran?
Saat dikonfirmasi lewat WhatsApp, Jumi menjawab singkat dan defensif.
“Kata siapa menggunakan besi banci?” ujarnya, tanpa memberikan penjelasan detail soal material yang dipakai.
Direktur CV. Putra Bungsu Mandiri tak bisa dihubungi. Dinas Perumahan, Permukiman, dan Pemakaman (DPPP) Kabupaten Tangerang pun belum memberikan keterangan resmi. Padahal, penggunaan material diduga tidak sesuai spesifikasi berpotensi melanggar ketentuan kontrak kerja serta membuka indikasi kerugian negara.
Dalam dokumen Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, disebutkan bahwa setiap penyedia jasa wajib memenuhi standar teknis yang tercantum dalam kontrak. Jika terbukti lalai, konsekuensinya bisa berupa sanksi administrasi hingga pemutusan kontrak.
Di sisi lain, pembangunan fasilitas publik dibangun di atas lahan milik pribadi berisiko menimbulkan sengketa hukum di kemudian hari. Pemerintah daerah bisa kesulitan menjamin keberlanjutan fungsi SAB bila pemilik tanah sewaktu-waktu menarik haknya.
Kasus Blukbuk memperlihatkan bagaimana proyek berlabel kebutuhan dasar, air bersih masih sarat praktik serampangan. Mulai dari dugaan pemilihan lokasi hingga dugaan penggunaan material, banyak hal yang perlu dikaji ulang.
Publik kini menunggu keberanian aparat pengawas internal pemerintah (APIP) dan lembaga penegak hukum untuk menelusuri lebih jauh. Sebab, air bersih bukan sekadar proyek, tapi hak dasar masyarakat.












