Kabupaten Serang ; Kebebasan pers adalah pilar utama demokrasi. Ia menjadi mata, telinga, sekaligus suara publik dalam mengawasi jalannya pemerintahan dan kebijakan publik. Namun, idealisme ini kerap berbenturan dengan realitas di lapangan: jurnalis masih menghadapi intimidasi, larangan, bahkan ancaman saat menjalankan tugas.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sesungguhnya telah memberi jaminan kuat. Pasal 18 ayat (1) menyatakan, siapa pun yang dengan sengaja menghalangi wartawan dalam melaksanakan tugas jurnalistik dapat dipidana penjara paling lama dua tahun atau denda maksimal Rp500 juta. Regulasi ini hadir bukan tanpa alasan: untuk melindungi jurnalis agar dapat bekerja tanpa tekanan.
Lebih jauh lagi, UUD 1945 melalui Pasal 28F juga menegaskan hak setiap warga negara untuk memperoleh dan menyampaikan informasi. Artinya, membatasi kerja wartawan sama halnya dengan mengabaikan hak konstitusional masyarakat.
Namun, praktik di lapangan kerap berbeda. Insiden terbaru yang mencoreng wajah kebebasan pers diduga terjadi di SMK Negeri 1 Tanara Kecamatan Tanara Kabupaten Serang Provinsi Banten, Selasa (19/8/2025). Sejumlah wartawan yang hendak meliput realisasi proyek pembangunan di lingkungan sekolah tersebut justru diduga mendapat perlakuan tak menyenangkan.
Seorang oknum satpam dengan suara lantang melarang awak media masuk, meskipun mereka telah menunjukkan identitas resmi.
“Tidak boleh masuk, Pak. Ini sesuai SOP yang saya jalankan, dan untuk buku tamu tidak ada di sini,” ucapnya tegas.
Tak berhenti di situ, seorang oknum guru berseragam dinas yang mengaku sebagai penanggung jawab atau pemegang proyek turut melarang wartawan dengan nada emosi. Bahkan, ia menyatakan akan menghubungi pihak kepolisian Polres dengan alasan dirinya diberi mandat.
“Itu proyek saya yang pegang. Mau apa ke sini? Kalau mau memberikan sumbangan saya terima, saya akan hubungi Polres, karena saya diberi mandat’ katanya dengan nada tinggi.
Situasi yang semakin memanas membuat insan pers akhirnya memilih meninggalkan lokasi.
“Karena kondisi sulit diberikan pemahaman, kami putuskan untuk pergi,” ujar Wahyu, salah satu wartawan media online.
Peristiwa ini kembali menegaskan masih lemahnya pemahaman sebagian pihak terhadap fungsi dan peran pers. Padahal, media bukanlah musuh, melainkan mitra publik yang bekerja memastikan keterbukaan informasi. Intimidasi terhadap jurnalis bukan hanya melanggar UU Pers, tetapi juga merusak sendi demokrasi yang sehat.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Kepala Sekolah SMK Negeri 1 Tanara maupun instansi terkait belum memberikan tanggapan.
Kasus di Tanara bukanlah yang pertama, dan mungkin bukan yang terakhir jika penegakan hukum terhadap pelaku penghalangan tugas wartawan tidak diperkuat. Sebab, di balik setiap berita yang terhalang, ada hak publik yang ikut dirampas.












