Kab.Serang ; Karung-karung beras itu tampak rapi tersusun di sudut gudang pabrik penggilingan padi di Kampung Pabuaran Bugel, Desa Pasirlimus, Kecamatan Pamarayan, Kabupaten Serang. Dari luar, tak ada yang aneh. Karung bermerek Ramos, Rojo Lele, hingga Cap Kembang seolah berisi beras premium yang biasa diburu para ibu rumah tangga. Namun saat aparat Polres Serang bersama Satgas Pangan membongkarnya awal September ini, isinya membuat kening berkerut: beras kotor, berkutu, sisa hajatan yang sudah tak layak konsumsi.
Di balik operasi penggerebekan itu, tersingkap praktik culas yang telah berlangsung lebih dari sepuluh tahun. Pabrik milik SU, 46 tahun, bukan sekadar penggilingan padi. Ia menjelma menjadi bengkel manipulasi, mengubah beras busuk menjadi “beras bermerek” yang siap dilempar ke pasaran.
Modus Lama, Untung Besar
Skema SU sederhana namun licik. Ia membeli beras sisa hajatan dengan harga Rp10 ribu per kilogram. Beras itu ditumpuk di gudang, dipilah: yang masih layak dijual langsung, yang kotor dan berkutu dicampur sedikit beras premium, lalu dipoles dengan mesin heller. Setelah tampak lebih putih, beras oplosan itu dikemas ulang dalam karung bermerek populer ukuran 25 kilogram.
Di pasar, karung-karung itu dijual Rp200 ribu. Margin keuntungannya mencengangkan: hampir Rp100 ribu per karung. Polisi memperkirakan SU sudah meraup keuntungan miliaran rupiah selama lebih dari satu dekade bisnis haramnya bergulir.
“SU selaku pemilik penggilingan padi diduga melakukan pengoplosan dengan cara beras tidak layak konsumsi dicampur dengan beras premium. Produk itu kemudian dikemas ulang dan dipasarkan di tokonya,” kata Kapolres Serang AKBP Condro Sasongko, Minggu (7/9/2025).
Dugaan Pelanggaran Berlapis
Selain menipu konsumen, bisnis ini menabrak banyak aturan. Mulai dari perdagangan curang, pelanggaran hak merek dagang, hingga aspek kesehatan pangan. Konsumen jelas dirugikan karena membeli produk palsu dengan harga premium, sementara kualitasnya jauh di bawah standar.
Yang lebih berbahaya: kandungan beras kotor berpotensi membahayakan kesehatan. Bagi masyarakat kecil, yang membeli beras oplosan tanpa curiga, risiko itu mengintai langsung di meja makan.
Celah Pengawasan
Pertanyaan besar kini muncul: bagaimana praktik ini bisa bertahan lebih dari sepuluh tahun tanpa tersentuh aparat atau pemerintah daerah?
Pengoplosan beras bukan modus baru. Di sejumlah daerah, kasus serupa pernah mencuat. Namun selalu ada pola sama: pengawasan pangan yang lemah, distribusi yang berlapis, dan keterbatasan konsumen dalam membedakan beras asli dan oplosan.
Di Serang, celah pengawasan tampak nyata. Pabrik SU beroperasi di desa kecil, namun produknya bisa beredar luas. Otoritas terkait seolah lengah, hingga akhirnya kasus ini terbongkar bukan dari inspeksi rutin, melainkan laporan masyarakat.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Bagi konsumen, kerugian bukan hanya materi. Rasa percaya terhadap merek-merek beras yang biasa mereka beli ikut tercoreng. Pedagang kecil pun terkena imbas. Mereka menjual beras bermerek dengan keyakinan itu asli, namun belakangan baru sadar telah ikut mengedarkan produk oplosan.
“Kalau seperti ini, kami pedagang juga jadi takut. Konsumen bisa salah sangka seolah-olah semua beras bermerek palsu,” kata seorang pedagang beras di Kab.Serang yang enggan disebut namanya.
Seruan Hati-Hati
Polisi telah menahan SU dan menyita puluhan karung oplosan, mesin heller, hingga kendaraan distribusi. Namun kasus ini menyisakan pekerjaan rumah lebih besar: memperketat rantai pengawasan pangan, dari hulu hingga hilir.
Kapolres Serang mengimbau masyarakat lebih teliti sebelum membeli.
“Jika menemukan praktek mencurigakan, segera lapor ke kepolisian atau hubungi call center 110,” tegasnya.
Kasus ini seharusnya menjadi alarm keras bagi pemerintah daerah dan Satgas Pangan. Sebab, selama celah pengawasan dibiarkan, praktik serupa bisa muncul di tempat lain. Apalagi, kebutuhan beras sebagai pangan pokok membuat pasar selalu terbuka lebar.
Sepuluh tahun, beras oplosan itu lolos dari radar. Kini, setelah terbongkar, pertanyaan yang tersisa: berapa banyak keluarga yang sudah terlanjur mengonsumsinya tanpa pernah tahu mereka membeli “beras busuk dalam karung premium”?